Senin, 17 April 2017

Uni Eropa Tak Suka Hilirisasi Sawit Indonesia Berhasil

Sikap parlemen Uni Eropa yang mengeluarkan resolusi soal sawit | PT Bestprofit Futures Pusat

PT Bestprofit Futures Pusat

Panggah memaparkan, per akhir 2016, kapasitas produksi pabrik minyak goreng sawit (refinery) sudah mencapai 45 juta ton, naik dua kali lipat dibandingkan akhir 2010 yang mencapai 22,5 juta ton.
Produk hilir lainnya, yakni confectionaries atau lemak pangan, kapasitas produksinya per akhir 2016 mencapai 1,85 juta ton. Angka ini juga naik lebih dari dua kali lipat pada akhir 2010 yang sebesar 750.000 ton.

Adapun kapasitas produksi untuk biodiesel pada akhir 2016 mencapai 12,8 juta ton, naik lebih dari lima kali lipat dibandingkan akhir 2010 yang hanya 2,5 juta ton.Panggah mengatakan, resolusi sawit dikeluarkan oleh parlemen Uni Eropa karena persaingan dagang. Dia mengatakan, tudingan Uni Eropa bahwa industri sawit menyebabkan deforestasi dan pelanggaran hak asasi manusia tidak tepat.

Ia pun meminta masyarakat untuk menyadari persaingan dagang ini dan tidak terpengaruh. "Saya pikir dari dalam negeri jangan terlalu cepat memojokkan. Kadang-kadang kita ini (orang Indonesia) suka terprovokasi oleh keinginan orang lain," ujar Panggah.

Direktur Jenderal Industri Agro Kementerian Perindustrian (Kemenperin) Panggah Susanto menilai, sikap parlemen Uni Eropa yang mengeluarkan resolusi soal sawit dan pelarangan biodiesel berbasis sawit muncul karena "Benua Biru" itu tak ikhlas kebijakan hilirisasi industri yang dilakukan Indonesia berhasil.

Berdasarkan catatan Kementerian Perindustrian, nilai ekspor produk hilir pada akhir 2010 hanya 7,2 miliar dollar AS. Kebijakan hilirisasi industri kelapa sawit sendiri baru mulai digalakkan pada 2011.
Setelah kebijakan itu berjalan, nilai ekspor produk hilir pada 2015 meningkat signifikan menjadi 11,86 miliar dollar AS, dengan asumsi harga produk hilir saat itu 1.000 dollar AS per ton, dan produk hulu 750 dollar AS per ton.

Per akhir 2016, nilai ekspor produk hilir industri kelapa sawit Indonesia sudah mencapai 15,7 miliar dollar AS. Produk hilir ini juga mendominasi (70 persen) ekspor sawit dan turunannya."Ini yang mungkin jadi alasan Uni Eropa terus menekan kita (Indonesia). Nilai tambah (makin) tinggi, dan tentu ini masuk ke pasar-pasar mereka," kata Panggah dalam workshop Wartawan Kementerian Perindustrian, di Surabaya, Senin (17/4/2017).

Gandeng Malaysia, sawit RI lawan Uni Eropa | PT Bestprofit Futures Pusat

Dalam surat dan pernyataan lisan tersebut, Enggartiasto membantah semua tuduhan yang digulirkan parlemen Uni Eropa soal perkebunan sawit, sebagai penyebab deforestasi dan melanggar Hak Asasi manusia (HAM) karena banyak pekerja anak-anak, serta menimbulkan terjadinya suap dan korupsi. "Kami mengingatkan mereka bahwa kebijakan Uni Eropa ini akan menganggu perjanjian perdagangan kedua negara," ujarnya, Senin (17/4).

Seperti diketahui, resolusi dan larangan impor terhadap produk sawit dan biodiesel dilancarkan Uni Eropa karena menuding menuding produk sawit menjadi penyebab deforestasi dan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM).

Atas tudingan itu Enggartiasto juga menggelar pertemuan dengan sejumlah pimpinan perusahaan sawit di Indonesia. Mereka antara lain, Pemilik Rajawali Group Peter Sondakh, Pemilik Musim Mas Group Bachtiar Karim, Bos Triputra Group Arif Patrick Rachmat, Komisaris Utama Wilmar Master Parulian Tumanggor, Managing Director Asian Agri Kelvin Tio,  Presiden Komisaris Astra Agro Lestari Widya Wirawan, dan Perwakilan dari Salim Group Franciscus Welirang.

Di hadapan para pengusaha tersebut, Enggartiasto mengatakan bahwa Indonesia dan Uni Eropa selama ini menerapkan semangat perdagangan bebas sehingga kebijakan Uni Eropa ini mencederai prinsip yang sudah dibangun kedua pihak selama ini.Menurutnya, perlakuan diskriminatif Uni Eropa terhadap produk sawit Indonesia bisa memicu pemerintah menerapkan hal serupa terhadap produk Uni Eropa yang masuk ke Tanah Air.

Kebijakan parlemen Uni Eropa yang mengeluarkan resolusi terhadap produk minyak kelapa sawit dan melarang impor biodiesel berbahan dasar sawit, mulai mendapat respon keras dari Pemerintah Indonesia.Kementerian Perdagangan (Kemdag) telah meminta Uni Eropa secara serius meninjau ulang tuduhan tersebut. Sebab, jika kebijakan ini terealisasi, maka efeknya akan mengganggu hubungan dagang antara Indonesia dan Uni Eropa yang telah terjalin harmonis selama ini.

Menteri Perdagangan (Mendag) Enggartiasto Lukita mengaku telah mengirimkan surat keberatan kepada Uni Eropa terkait resolusi tersebut. Selain itu, secara lisan dia  juga menyampaikan keberatan kepada Pemerintah Uni Eropa atas pembicaraan yang dihasilkan Parlemen Eropa.

Apa Jadinya Jika RI Setop Ekspor Sawit ke Eropa? Ini Kata Mendag | PT Bestprofit Futures Pusat

Dia menuturkan, tak bisa dipungkiri, resolusi tersebut juga bakal merusak hubungan tatanan perdagangan antara Indonesia dan Uni Eropa yang selama ini sudah terjalin dengan baik.
"Kalau hal ini dilaksanakan itu mengganggu perjanjian perdagangan Uni Eropa dengan kita. Sebab semangat yang ada di kita bicara small medium enterprise (UKM), semangat free trade," ungkapnya.

Dia melanjutkan, jika resolusi ini benar-benar diterapkan, tentunya Uni Eropa sendiri yang memulai perdagangan tak sehat dengan Indonesia."Kalau ini terjadi, apa yang kita sepakati dalam berbagai pembicaraan mengenai perang dagang, Anda memulai ini. Urusan dalam negeri masing-masing tolong diselesaikan," jelas Enggar. Selain itu, lanjutnya, pihaknya juga telah menggandeng Malaysia untuk menyelesaikan masalah tudingan-tudingan miring atas sawit tersebut.

"Kan kita sama-sama (dengan Malaysia). Market share kita dan Malaysia di dunia itu 85%, daripada kita sendiri-sendiri. Kita berdualah sama-sama dengan Malaysia menghadapi tuntutan ini," pungkas Enggar. Parlemen Uni Eropa beberapa waktu lalu mengeluarkan resolusi soal sawit Indonesia yang dianggap merusak hutan. Selain itu, komoditas ekspor andalan itu juga dikaitkan dengan korupsi, pekerja anak, dan penghilangan hak masyarakat adat.

Menteri Perdagangan (Mendag), Enggartiasto Lukita, mengatakan Indonesia bersama dengan Malaysia, menguasai 85% pangsa pasar sawit dunia. Negara yang menolak sawit, menurutnya, malah merugi lantaran sawit memang selama ini lebih murah dibanding minyak nabati lain. "Indonesia dan Malaysia itu 85% pasar market dunia, dan (menguasai) 95% pasar Asia. Bayangkan itu, kalau kita tidak kirim stok ekspornya, meninggal itu," ucap Enggar di kantornya, Jakarta, Senin (17/4/2017).


Best Profit 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar